feedburner
Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner count

Search Here

Google
 

MASYARAKAT TIDAK PERCAYA HUKUM

Katagori :

Kemajuan teknologi yang pesat dewasa ini, tidak saja membawa peningkatan kesejahteraan manusia, tetapi juga menimbulkan implikasi lain dengan meningkatnya tindak pidana baik secara kuantitas maupun kualitas. Perkembangan tindak pidana yang demikian cepat tidak seluruhnya dapat dijangkau perangkat hukum berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana materiil dewasa ini.

Untuk itu peraturan perundang-undangan di luar KUHP merupakan alternatif dalam menjangkau berbagai tindak pidana terutama yang terjadi pada lingkup Departemen/Instansi. Sementara dalam penegakan hukumnya, diperlukan adanya aparat penegak hukum yang dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

KUHAP merupakan landasan untuk terselenggaranya proses peradilan pidana di Indonesia yang baik dan berwibawa dengan tujuan memberi perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka, tertuduh ataupun terdakwa. Meski dalam realitasnya, banyak kasus yang tidak diajukan kepengadilan ataupun putusan yang dihasilkan dirasakan tidak adil oleh pencari keadilan. Selain itu kecenderungan meningkatnya jumlah residivis di masyarakat.

Implikasinya, masyarakat tidak percaya pada hukum, hukum tidak ditegakkan, proses hukum memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal. Demikian hal ini disampaikan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta ketika menjadi pembicara dalam Rakor Polri dengan Departemen/Instansi/Badan yang membawahi/memiliki Polisi Khusus dan PPNS yang diselengarakan oleh Mabes Polri, Kamis, 26 Juli 2007 di Jakarta.

Tuntutan masyarakat dalam era reformasi saat ini adalah terwujudnya tujuan sistem peradilan pidana yang secara adil. Sistem ini dianggap berhasil manakala laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat ganjaran pidana sesuai dengan tingkat perbuatannya.

Menurut Andi Mattalatta tujuan sistem peradilan pidana adalah:

  1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
  2. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
  3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan tindak kejahatan, tidak mengulangi lagi tindak kejahatannya.

Menurutnya, ada 4 (empat) komponen dalam sistem peradilan pidana yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempatnya diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu sistem “Integreted Criminal Justice System”. Suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan.

Tujuan sistem peradilan pidana tersebut hanya dapat tercapai apabila masing-masing sub sistem seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan telah melaksanakan tugas dan fungsinya secara terpadu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Apabila tujuan peradilan pidana tersebut tercapai, maka cepat atau lambat masyarakat akan mempercayai hukum. (Biro Humas dan HLN/Hasbullah) www.depkumham.go.id





0 comments:

Posting Komentar